Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari
unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu
karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan
unsur yang lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam
kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo, 1991 :
25).
Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan
struktur batin (Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur
yang saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna yang
utuh.
Struktur batin puisi terdiri atas : tema, nada, perasaan, dan
amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata
kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan
kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima, ritma dan metrum (Waluyo,
1991 : 28 ).
A.
Struktur
Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar
(Waluyo, 1991:71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan
bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana
puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut ini akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi :
diksi, imajinasi, kata konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.
1.
Diksi
(Pilihan Kata)
Dalam menciptakan
sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca
melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan
setepat-tepatnya seperti yang dialami hatinya. Selain itu juga ia ingin
mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya.
Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin
mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang
ditulis harus dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama
serta kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata
dalam keseluruhan puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan urutan
katanya dan kekuatan daya magis kata-kata diberi makna baru dan yang tidak
bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya
kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam
pemilihannya (Waluyo, 1991:72)
Kalau dipandang sepintas lalu kata-kata yang dipergunakan
dalam puisi pada umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi
dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama. Bahkan bunyi
ucapanpun tidak ada bedanya (Tarigan, 1988:29)
Namun tidak demikian adanya penyair menggunakan bahasa yang
berbeda bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup
dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup
dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup
bila hanya mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair adalah supaya
siapa saja yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan mengalami seperti
apa yang dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya (Pradopo, 1980:49)
Pilihan kata berguna untuk membedakan nuansa makna dan
gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi
dan nilai rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang tepat berarti
memfungsikan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada
imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis pada saat
menciptakan puisinya (Keraf, 1984:87)
Dalam memilih kata-kata yang tepat dan untuk menimbulkan
makna serta gambaran yang jelas penyair harus mengerti denotasi dan konotasi
sebuah kata (Pradopo, 1990:58). Hal ini disebabkan karena penyair berbeda dari
penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya) (Situmorang, 1981:27).
Dalam menentukan pilihan kata yang tepat sering terjadi
pergumulan dalam diri penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang tepat, yang
mengandung arti sesuai dengan maksud puisinya baik dalam arti denotatif maupun
konotatif seperti dikatakan di atas. Hal
ini dilakukan untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada imajinasi pembacanya
maupun pada makna puisinya (Situmorang, 1983:19).
Seperti dikatakan di atas puisi memiliki makna masing-masing.
Namun secar umum makna kata dalam puisi digolongkan menjadi dua makna; konotasi
dan denotasi. Makna denotasi artinya makna yang menunjuk pada arti sebenarnya
dalam kamus, sedangkan makna denotasi artinya kata yang memiliki kemungkinan
makna lebih dari satu (Waluyo, 1991: 73). Namun dalam puisi (karya sastra)
sebuah kata tidak hanya mengandung makna denotasi saja (Pradopo, 1990:59).
Hendaknya disadari bahwa kata dalam puisi lebih bersifat konotatif artinya
memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-kata dalam puisi dipilih
dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetis dan juga puitis artinya
mempunyai efek keindahan yang berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam
kehidupan sehari-hari. Maka kata-kata yang dipilih penyair bersifat absolut dan
tidak bisa diganti. Jika diganti akan mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi
itu sendiri (Waluyo, 1991: 73)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diksi
adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana
yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan arti
sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif, sehingga mampu
mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi diksi selain penting juga merupakan sebagian dari ciri
khas seorang penyair. Karena di antara penyair yang satu dengan penyair yang
lain berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa diksi itu sudah menjadi
satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam puisi kita seakan bisa
mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan seorang penyair
menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada pembacanya (Situmorang,
1983:19).
Contoh
puisi karya Sutardji Calzoum Bachri:
SOLITUDE
Yang
paling mawar
Yang
paling duri
Yang
paling sayap
Yang
paling bumi
Yang
paling pisau
Yang
paling risau
Yang
paling nancap
Yang
paling dekap
Samping
yang paling
KAU !
Bait “Yang paling mawar” menunjukkan sifat-sifat yang
dimiliki sebuah mawar, seperti: merah, indah, wangi dan menarik. Jadi, Solitude
(kesunyian) itu menurut si penyair seperti mawar yang mempunyai sifat paling
menarik, indah dan wangi.
2.
Pengimajian
(Imaji)
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah
dialaminya kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk
memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata
dalam puisinya (Tarigan, 1984:30). Ada hubungan yang erat antara pemilihan
kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih harus
menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang kita
hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi
dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo,
1991: 97).
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat
memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut
dapat mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang
nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang
penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga
mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa
jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga dan
sekuat daya dengan pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat melihat,
merasakan, mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui fantasinya
(imajinya). Dengan jalan demikian penyair dapat menarik perhatian pembaca
bahkan bisa meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu yang
digambarkannya itu (Situmorang, 183: 20).
Imaji bisa muncul pada diri seseorang, apabila seseorang itu
mau memikirkan dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya melalui perasaan.
Sebab semua manusia mengalami dan melihat apa yang ada di dunia ini melalui
perasaannya. Jika kita pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir
putih. Kita merasakan asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di
kepala kita dan pasir panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak,
kita dapat merasakan dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa kita menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada pada
rasa kita. Jika kita kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal di atas
tidak akan dapat kita rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981: 87).
Demikian pula halnya dengan penyair pada saat menciptakan
puisi. Dengan serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya imajinasi
dalam puisinya sehingga pembaca dapat
memunculkan apa yang disampaikan penyair dalam puisinya ke dalam
pikirannya dengan perasaan. Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif
inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian
(Tarigan, 1984:30). Bila seseorang membaca sebuah puisi yang melukiskan
indahnya suasana pantai di pagi hari dan di saat senja datang. Maka yang muncul
dalam imajinasi kita adalah ombang yang saling berkejaran, angin yang berhembus
sejuk, kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar matahari menambah indahnya
suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai berubah menjadi senja. Sementara
matahari tak bosannya menyengat kulit sampai hitam legam. Imajinasi ini muncul
karena kita menggunakan perasaan. Tanpa perasaan semua hal di atas tidak akan
dapat kita rasakan. Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata kongkrit yang
khas (Waluyo, 1991:79).
Effendi menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat
dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya
imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata
hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat
benda-benda, warna dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan
perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna (Waluyo,
1991: 81).
Hal yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati secara nyata
selama kita sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna sebuah puisi
(Waluyo, 1991: 79). Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah gambaran
pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (1990: 79).
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas dapat disimpulkan
pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
sensoris di mana pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan
seperti apa yang dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara
imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang
dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman,
pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga imaji
penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil)
(Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan
dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
a. Imajinasi
Visuil, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat
sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
b. Imajinasi
Auditory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Suara
dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan,
hal ini sering menggunakan kata-kata onomatope.
c. Imajinasi
Articulatory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar
bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita
membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut
membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya.
d. Imajinasi
Olfaktory, yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau
mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti
mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium bau tanah yang
baru dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti mencium bau
apel yang sedap dan sebagainya.
e. Imajinasi
Gustatory, yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata
atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang
menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
f. Imajinasi
Faktual, yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di
bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh
tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
g. Imajinasi
Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita
merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
h. Imajinasi
Organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau
merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan
sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh
penyair melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling
menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).
Contoh
puisi karya Nursyamsu:
PANDAI BESI
Tempa
terus pandai besi
Walau
dengkang-dengkang laga besi dan besi
Rasa
kan meruntuhkan atap dinding kepalamu
Walau
merah menyilau panas api
Rasa
kan menghanguskan isi dadamu
Tempa terus pandai
besi
Walau mencicik peluh
di badan
Siar besi berbatang
di api nyala
Bawa lari, tempa,
bentuk di landasan
Hingga menjadi
senjata waja
….
Dengan membaca puisi di atas kita akan membayangkan bagaimana
suasana dan kondisi di sekitar tukang besi. Pada baris ke dua bait pertama “Walau
dengkang-dengkang laga besi dan besi”, kita seolah-olah mendengar suara besi
yang berdengkang-dengkang. Itulah yang disebut Imajinasi Auditory. Pada baris
ke empat bait pertama “Walau merah menyilau panas api”, kita seolah merasakan
dan melihat secara langsung bagaimana warna merah api yang menyilaukan mata dan
betapa panasnya api itu. Bayangan seolah melihat warna api menyilau disebut
Imajinasi Visuil, sedangkan bayangan seolah merasakan panas api disebut
Imajinasi Faktual.
3.
Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka
kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat
mengarah pada arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Jika
seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat
melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan oleh penyair
(Waluyo, 1991: 81).
Sedangkan yang dimaksud dengan kata konkret sendiri ialah
kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif tidak
sama karena disesuaikan dengan kondisi dan situasi pemakainya. Misalnya
pemakaian kata-kata senja, senyap,
camar, bakau, teluk benang raja dalam sajak Amir Hamzah dalam “Berdiri Aku”
benar-benar merupakan kata yang sesuai untuk mendukung makna dari puisinya
(Situmorang, 1983: 20).
Dengan kata yang diperkonkret makin memperjelas gagasan
penyair dengan begitu pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa,
perasaan, keadaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.
Contoh
puisi karya Toto Sudarto Bachtiar
Gadis Peminta-minta
Setiap
kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu
terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah
padaku pada bulan merah jambu
Tapi
kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin
aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang
ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup
dari kehidupan angan-angan yang gemerlap
Gembira
dari kemayaan riang.
Duniamu
yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas
diatas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa
begitu murni, terlalu murni
Untuk
dapat membagi dukaku.
Kalau
kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan
di atas itu tak ada yang punya
Dan
kotaku, oh kotaku
Hidupnya
tak lagi punya tanda.
Untuk melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis,
gembel maka penyair menggunakan kata-kata gadis kecil berkaleng kecil lukisan
itu lebih konkret dari pada gadis peminta ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi yang dimaksud konkret adalah kata yang dapat menyarankan
kepada arti yang menyeluruh, dengan demikian pembaca dapat membayangkan secara
jelas peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang digambarkan penyair sehingga
pembaca dapat memahami arti puisi.
4.
Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura
sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan makna
kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu
mengekspresikan makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong
pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan
penulis. Seperti yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias dapat
menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery) dalam diri pembaca yang
menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang
dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan
(1990: 80).
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa
yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan
kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji
tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi
lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas, (4)
Bahasa Figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak
disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa
yang singkat (Waluyo, 1991: 83).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus
menafsirkan kiasan dan lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional.
Menurut uraian di atas bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh
penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya
bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas
makna atau lukisan yang hendak dikemukakan penyair melalui puisinya. Bahasa
kias yang biasa terdapat dalam puisi :
a. Perbandingan/
perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan
yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata
pembanding lainnya.
b. Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan
kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat
sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978: 317). Metafora ini
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan yang lain yang
sesungguhnya tidak sama.
c. Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia.
Benda-benda mati dibuat dapat berbuat,
berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair
dulu sampai sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu
memberi kejelasan beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
Contoh
puisi karya Hartoyo Andangjaya
SAJAK
Sajak ialah kenangan
yang bercinta
mencari jejakmu, di
dunia
Ia mengelana di
tanah-tanah indah
lewat bukit dan
lembah
dan kadang tertegun
tiba-tiba, membaca
jejak kakimu di sana
Sementara di mukanya
masih menunggu
Yojana biru
kaki langit yang
jauh
jarak-jarak yang
harus ditempuh
Ia makin merindu
dalam doa, dan
bersimpuh
Tuhanku ……..
Sajak ialah kenangan
yang bercinta
mencari jejakmu, di
dunia
Puisi di atas menggunakan bahas kias personifikasi karena
memperlakukan sajak seperti halnya seorang manusia. Pada bait pertama, sajak
digambarkan seperti manusia yang dapat mencari jejak di dunia. Demikian pula
bait-bait selanjutnya. Bait ke dua, kaki langit yang menunggu. Bait ke tiga
digambarkan sajak dapat merasakan rindu, berdoa dan bersimpuh seperti manusia.
d. Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu
melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih
seksama dari pembaca.
e. Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya.
Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama.
Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah obyek atau penggunaan
sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti obyek tersebut.
f. Sinekdoke
(Syneadoche)
Bahasa kiasan yang
menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal
itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
g. Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau
lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
1) Lambang
warna: menyebutkan warna untuk memaknai sesuatu.
2) Lambang
benda: penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
3) Lambang
bunyi: bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan tertentu.
4) Lambang
suasana: suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret.
5.
Versifikasi
(Rima, Ritma dan Metrum)
Versifikasi terdiri
dari rima, ritma dan metrum.
a. Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk
musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain :
1) Menurut
bunyinya :
a) Rima
sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya.
Contoh:
Demikian rasa
Datang semasa
b) Rima
tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya.
Contoh:
Tuhanku
Dalam diam ku termangu
Aku masih menyebut nama Mu
c) Rima
mutlak bila seluruh bunyi kata itu sama.
d) Asonansi
perulangan bunyi vokal dalam satu kata.
Contoh: Segala
cintaku hilang terbang.
e) Aliterasi
: perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan.
Contoh: Kaulah
Kandil kemerlap
f) Pisonansi
(rima rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya
berbeda.
2) Menurut
letaknya :
a) Rima
depan : bila kata pada permulaan baris sama.
Contoh:
Beta bermenung
Karena bingung
Beta berlutut
Hendak bersujud
b) Rima
tengah : bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama.
Contoh:
Aku pengapa padiku ini
Jika dilurut, pecah batangnya
Aku pengapa hatiku ini
Jika diturut sudah datangnya
c) Rima
akhir bila perulangan kata terletak pada akhir baris.
Contoh:
Aku lalai di hari pagi,
Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
d) Rima
tegak bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya.
e) Rima
datar bila perulangan itu terdapat pada satu baris.
3) Menurut
letaknya dalam bait puisi :
a) Rima
berangkai dengan pola aabb, ccdd……….
b) Rima
berselang dengan pola abab, cdef……
c) Rima
berpeluk dengan pola abba, cddc……..
d) Rima
terus dengan pola aaaa, bbbb……..
e) Rima
patah dengan pola abaa, bcbb……
f) Rima
bebas : rima yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut sebelumnya
(Waluyo, 1991: 93).
g) Efoni
kombinasi bunyi yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih
sayang, cinta dan hal-hal yang menggembirakan.
Contoh puisi karya
Ramadhan Kh.
Tanah Kelahiran
Seruling di pasir
ipis, merdu
antara gundukan
pohonan pina
tembang menggema di
dua kaki
Burangrang –
tangkubanperahu.
Jamrut di
pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis
menurun.
Membelit tangga di
tanah merah
di kenal gadis-gadis
dari bukit.
Nyanyian kentang
sudah digali
kenakan kebaya merah
ke pewayangan.
Jamrut di
pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis
menurun.
h) Kakafoni
kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk memperkuat
suasana yang tidak menyenangkan, kacau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.
Contoh puisi karya
Bur Rasuanto:
Telah Gugur Beberapa Nama
telah gugur beberapa
nama
telah gugur
atas nama kita semua
warna berhati damai
yang bertahun
telah diperhamba
atas nama jiwa-jiwa
agung
yang namanya
terpahat di hati kita
serta atas nama
sejarah dan kemanusiaan
yang dengan paksa
telah dibengkokkan.
b. Ritma
Pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras
lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan (Waluyo, 1991:94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
1) Andante
: Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan irama lambat
2) Alegro
: Kata bervokal tiga, menimbulkan irama sedang
3) Motto
Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama cepat.
c. Metrum
Perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94).
Nama metrum didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo
adalah irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu
(Pradopo, 1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan
deklamasi. Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk
tekanan keras ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan,
sedangkan tekanan lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.
Contoh puisi karya Subagio
Sastrowardojo:
KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak
menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan
tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
Ketika Bung Karno
bersama rakyat teriak
“Merdeka” 17 kali
Keharuan menawan
ketika pasukan
gerilya masuk Yogya sudah kita
rebut kembali.
Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasah
bumi sehabis kering sebulan
Aku rindu keharuan
waktu bendera
dwiwarna berkibar di makam pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis
lengkung bertemu di ujung
Aku ingin terharu
melihat dua tangan
damai berhubung
Kita manusia perasa
yang lekas terharu.
Rima, ritma, metrum mempunyai tugas penting dalam pembacaan
puisi, yaitu: untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan
angan yang jelas, dan menimbulkan suasana yang khusus. Tugas yang lain adalah:
peniru bunyi (onomatope), lambang rasa dan kiasan rasa.
Peniru bunyi (onomatope) dalam puisi biasanya memberikan
saran bunyi yang sebenarnya; menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata
yang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk.
Contoh
puisi karya Amir hamzah:
Sunyi sepi pitunang Poyang
Tidak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerincing genta rebana.
(Karena Kasihmu).
Kiasan suara terlihat dalam sajak Chairil Anwar “Senja di
Pelabuhan Kecil” bait kedua. Bunyi r yang berturut-turut mengiaskan gemericik
riak air laut yang mengalir.
desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan
6.
Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra
lain pada bentuk tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa
puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu
disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan
makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa
terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya
puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan
seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi
(Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi.
Tiprografi puisi merupakan bentuk visual
yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret.
Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi,
kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode
angkatan tertentu.
Contoh
puisi karya Amir Hamzah
HANYA SATU
Timbul
niat dalam kalbumu
Terbang
hujan ungkai badai
Terendam
karam
Runtuh
ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil
lintang pukang
Lari terbang jatuh
duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar
pokok purba
Teriak riuh redam
terbelam
Dalam gegap gempita
guruh
Kilau kilat membelah
gelap
Lidah api menjulang
tinggi
Terapung
naik jung bertudung
Tempat
berteduh Nuh kekasihmu
Bebas
lepas lelang lapang
Di
tengah gelisah suara sentosa
Bersemayam sempana
di jemala gembala
Duriat geliat
bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua
cahaya
Pancaran putera
berlainan bunda
Kini kami bertikai
pangkai
Di antara dua mana
mutiara
Jauhari ahli lalai
menilai
Lengah langsung
melewat abad
Aduh
kekasihku
Padaku
semua tiada berguna
Hanya
satu kutunggu hasrat
Mengapa
dikau dekat rapat
Serupa
Musa di puncak Turzina
B.
Struktur Batin
Puisi
Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran
perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1987: 47). Struktur batin puisi
merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang
hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Tanpa penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun dari
dalam, mustahil dapat memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi
merupakan isi/ makna yang sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui
puisinya. karena struktur batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik
yang tersurat, maka pembaca harus terlibat secara mendalam, baik fisik, mental
maupun pikiran untuk mengetahui atau memahami hakekat makna sebuah puisi yang
sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip Herman J.
Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair
(feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention)
(Waluyo, 1991: 180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
1.
Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai
keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada
pembaca melalui puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair,
penyair ingin agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami
dan pembaca tidak mendapatkan kesulitan
dalam menafsirkan puisinya. Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan
pembaca, penyair berharap setelah membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam
puisinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup dan
kehidupan.
Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan
dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga
merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan
oleh penyair. Setiap puisi
mengandung suatu pokok persoalan (subject matter) yang hendak dikemukakan
(Situmorang, 1983:12). Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang
dikemukakan penyair (Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan puisinya
penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi pembaca melalui puisinya. Sang penyair
melihat, mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan
caranya sendiri. Atau dengan kata lain sang penyair ingin mengemukakan
pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10).
Pokok pikiran atau pokok persoalan
itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama
pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan,
maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih
atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah
dorongann untuk memproses ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau
kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan
tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107).
Jadi tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu yang hendak
dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi atau
menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus bekerja
keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu yang hendak
dikemukakannya. Inilah yang disebut sense (Situmorang, 1983: 12).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak
lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan
dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo
yang mengatakan bahwa tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan
konsep-konsepnya yang terimajinasikan (Waluyo, 1991: 106-107).
Sebuah puisi bisa menyenangkan karena bersifat menghibur,
mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah puisi tidak
hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang berupa
dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat spiritual
dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita tidak akan dapat memahami tema dari sebuah puisi kalau
hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair tidak langsung
membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya. dengan membaca
berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi dari puisi itu
kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri sendiri maka itu
tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca mendapatkan kenikmatan
dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36).
Seorang sastrawan akan merasa bangga apabila apa yang
disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh
pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo,
1982:13). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan penyair
dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak dikemukakan
penyair dalam puisinya disebut subject
matter. Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun
puisi secara khusus.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan tema adalah
sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya yang
mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga merupakan
latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan dari
pengarangnya.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama,
penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah
puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991:
107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
a. Tema
Ke-Tuhanan
Puisi-puisi bertema
ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau “pengalaman
religi” penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ke-Tuhanan
seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang
terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib
(Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik
yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya
yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga
menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo,
1991:108).
Contohnya dapat dilihat dalam puisi “Do’a” karya Chairil
Anwar.
b. Tema
Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya
martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki
harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan
seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap
kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991:112)
Contohnya puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto
Bachtiar.
c. Tema
Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa
dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan
mengisahkan riwayat pahlawan yang
berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat
diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangssa atau membina rasa kenasionalan
(Waluyo, 1991:115)
Contohnya puisi
“Bangunlah, O Pemuda!” karya A. Hasymij.
d. Tema
Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan
kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa,
didapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan
nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi,
namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
e. Tema
Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema
keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema
keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk
mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
2.
Perasaan
(Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok
persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal
melalui penggunaan ungkapan-ungkapan
yang digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana
hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca
(Waluyo, 1991:121).
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia
mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang
diekspresikan. Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan,
simpati, acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono,
1988:71).
Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya,
yang merupakan gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan
puisinya.
3.
Nada dan
Suasana
a. Nada
adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan yang
dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988:71). Hal ini seperti dikemukakan
Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya (Tarigan,
1985: 13).
b. Dalam
menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada
pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan, rendah
hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada
pembaca (Waluyo, 1991:125).
c. Nada
dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/
ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam puisi.
d. Nada
berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu pada
pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca
puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo,
1991:71). Misalnya : puisi yang bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada
pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan suasana khusuk.
4.
Amanat
Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara
sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai
dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat
(pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat
dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang
diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud yang hendak
disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui
puisinya.