Sabtu, 07 April 2012

Struktur Pembangun Puisi

           Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo, 1991 : 25).
Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin (Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh.
Struktur batin puisi terdiri atas : tema, nada, perasaan, dan amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima, ritma dan metrum (Waluyo, 1991 : 28 ).

A.    Struktur Fisik Puisi       
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar (Waluyo, 1991:71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut ini akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi, kata konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.

1.      Diksi (Pilihan Kata)
    Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan daya magis kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya (Waluyo, 1991:72)
Kalau dipandang sepintas lalu kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama. Bahkan bunyi ucapanpun tidak ada bedanya (Tarigan, 1988:29)
Namun tidak demikian adanya penyair menggunakan bahasa yang berbeda bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup bila hanya mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair adalah supaya siapa saja yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya (Pradopo, 1980:49)
Pilihan kata berguna untuk membedakan nuansa makna dan gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang tepat berarti memfungsikan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis pada saat menciptakan puisinya (Keraf, 1984:87)
Dalam memilih kata-kata yang tepat dan untuk menimbulkan makna serta gambaran yang jelas penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata (Pradopo, 1990:58). Hal ini disebabkan karena penyair berbeda dari penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya) (Situmorang, 1981:27).
Dalam menentukan pilihan kata yang tepat sering terjadi pergumulan dalam diri penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang tepat, yang mengandung arti sesuai dengan maksud puisinya baik dalam arti denotatif maupun konotatif  seperti dikatakan di atas. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada imajinasi pembacanya maupun pada makna puisinya (Situmorang, 1983:19).
Seperti dikatakan di atas puisi memiliki makna masing-masing. Namun secar umum makna kata dalam puisi digolongkan menjadi dua makna; konotasi dan denotasi. Makna denotasi artinya makna yang menunjuk pada arti sebenarnya dalam kamus, sedangkan makna denotasi artinya kata yang memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (Waluyo, 1991: 73). Namun dalam puisi (karya sastra) sebuah kata tidak hanya mengandung makna denotasi saja (Pradopo, 1990:59). Hendaknya disadari bahwa kata dalam puisi lebih bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-kata dalam puisi dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetis dan juga puitis artinya mempunyai efek keindahan yang berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Maka kata-kata yang dipilih penyair bersifat absolut dan tidak bisa diganti. Jika diganti akan mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi itu sendiri (Waluyo, 1991: 73)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan arti sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif, sehingga mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi diksi selain penting juga merupakan sebagian dari ciri khas seorang penyair. Karena di antara penyair yang satu dengan penyair yang lain berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa diksi itu sudah menjadi satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam puisi kita seakan bisa mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan seorang penyair menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada pembacanya (Situmorang, 1983:19).

Contoh puisi karya Sutardji Calzoum Bachri:

SOLITUDE

Yang paling mawar
Yang paling duri
Yang paling sayap
Yang paling bumi
Yang paling pisau
Yang paling risau
Yang paling nancap
Yang paling dekap
Samping yang paling
KAU !

Bait “Yang paling mawar” menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki sebuah mawar, seperti: merah, indah, wangi dan menarik. Jadi, Solitude (kesunyian) itu menurut si penyair seperti mawar yang mempunyai sifat paling menarik, indah dan wangi.

2.      Pengimajian (Imaji)
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata dalam puisinya (Tarigan, 1984:30). Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo, 1991: 97).
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut dapat mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga dan sekuat daya dengan pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat melihat, merasakan, mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui fantasinya (imajinya). Dengan jalan demikian penyair dapat menarik perhatian pembaca bahkan bisa meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu yang digambarkannya itu (Situmorang, 183: 20).
Imaji bisa muncul pada diri seseorang, apabila seseorang itu mau memikirkan dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya melalui perasaan. Sebab semua manusia mengalami dan melihat apa yang ada di dunia ini melalui perasaannya. Jika kita pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir putih. Kita merasakan asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di kepala kita dan pasir panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak, kita dapat merasakan dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kita menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada pada rasa kita. Jika kita kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981: 87).
Demikian pula halnya dengan penyair pada saat menciptakan puisi. Dengan serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya imajinasi dalam puisinya sehingga pembaca dapat  memunculkan apa yang disampaikan penyair dalam puisinya ke dalam pikirannya dengan perasaan. Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan, 1984:30). Bila seseorang membaca sebuah puisi yang melukiskan indahnya suasana pantai di pagi hari dan di saat senja datang. Maka yang muncul dalam imajinasi kita adalah ombang yang saling berkejaran, angin yang berhembus sejuk, kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar matahari menambah indahnya suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai berubah menjadi senja. Sementara matahari tak bosannya menyengat kulit sampai hitam legam. Imajinasi ini muncul karena kita menggunakan perasaan. Tanpa perasaan semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan. Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata kongkrit yang khas (Waluyo, 1991:79).
Effendi menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat benda-benda, warna dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna (Waluyo, 1991: 81).
Hal yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati secara nyata selama kita sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna sebuah puisi (Waluyo, 1991: 79). Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (1990: 79).
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas dapat disimpulkan pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris di mana pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan seperti apa yang dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
a.    Imajinasi Visuil, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
b.    Imajinasi Auditory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar  sendiri apa yang dikemukakan penyair. Suara dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan, hal ini sering menggunakan kata-kata onomatope.
c.    Imajinasi Articulatory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya.
d.   Imajinasi Olfaktory, yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium bau tanah yang baru dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti mencium bau apel yang sedap dan sebagainya.
e.    Imajinasi Gustatory, yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
f.     Imajinasi Faktual, yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
g.    Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
h.    Imajinasi Organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh penyair melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).

Contoh puisi karya Nursyamsu:

PANDAI BESI

Tempa terus pandai besi
Walau dengkang-dengkang laga besi dan besi
Rasa kan meruntuhkan atap dinding kepalamu
Walau merah menyilau panas api
Rasa kan menghanguskan isi dadamu
Tempa terus pandai besi
Walau mencicik peluh di badan
Siar besi berbatang di api nyala
Bawa lari, tempa, bentuk di landasan
Hingga menjadi senjata waja
….

Dengan membaca puisi di atas kita akan membayangkan bagaimana suasana dan kondisi di sekitar tukang besi. Pada baris ke dua bait pertama “Walau dengkang-dengkang laga besi dan besi”, kita seolah-olah mendengar suara besi yang berdengkang-dengkang. Itulah yang disebut Imajinasi Auditory. Pada baris ke empat bait pertama “Walau merah menyilau panas api”, kita seolah merasakan dan melihat secara langsung bagaimana warna merah api yang menyilaukan mata dan betapa panasnya api itu. Bayangan seolah melihat warna api menyilau disebut Imajinasi Visuil, sedangkan bayangan seolah merasakan panas api disebut Imajinasi Faktual.

3.      Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat mengarah pada arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Jika seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1991: 81).
Sedangkan yang dimaksud dengan kata konkret sendiri ialah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif tidak sama karena disesuaikan dengan kondisi dan situasi pemakainya. Misalnya pemakaian  kata-kata senja, senyap, camar, bakau, teluk benang raja dalam sajak Amir Hamzah dalam “Berdiri Aku” benar-benar merupakan kata yang sesuai untuk mendukung makna dari puisinya (Situmorang, 1983: 20).
Dengan kata yang diperkonkret makin memperjelas gagasan penyair dengan begitu pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, perasaan, keadaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.

Contoh puisi karya Toto Sudarto Bachtiar

Gadis Peminta-minta

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlap
Gembira dari kemayaan riang.

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas diatas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk dapat membagi dukaku.

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu tak ada yang punya
Dan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.

Untuk melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis, gembel maka penyair menggunakan kata-kata gadis kecil berkaleng kecil lukisan itu lebih konkret dari pada gadis peminta ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi yang dimaksud konkret adalah kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh, dengan demikian pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang digambarkan penyair sehingga pembaca dapat memahami arti puisi.

4.      Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias dapat menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery) dalam diri pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan (1990: 80).
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa Figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991: 83).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus menafsirkan kiasan dan lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional. Menurut uraian di atas bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakan penyair melalui puisinya. Bahasa kias yang biasa terdapat dalam puisi :
a.       Perbandingan/ perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
b.      Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978: 317). Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
c.       Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda  mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.

Contoh puisi karya Hartoyo Andangjaya

SAJAK

Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejakmu, di dunia
Ia mengelana di tanah-tanah indah
lewat bukit dan lembah
dan kadang tertegun tiba-tiba, membaca
jejak kakimu di sana
Sementara di mukanya masih menunggu
Yojana biru
kaki langit yang jauh
jarak-jarak yang harus ditempuh
Ia makin merindu
dalam doa, dan bersimpuh
Tuhanku ……..
Sajak ialah kenangan yang bercinta
mencari jejakmu, di dunia

Puisi di atas menggunakan bahas kias personifikasi karena memperlakukan sajak seperti halnya seorang manusia. Pada bait pertama, sajak digambarkan seperti manusia yang dapat mencari jejak di dunia. Demikian pula bait-bait selanjutnya. Bait ke dua, kaki langit yang menunggu. Bait ke tiga digambarkan sajak dapat merasakan rindu, berdoa dan bersimpuh seperti manusia.

d.      Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
e.       Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah obyek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti obyek tersebut.
f.       Sinekdoke (Syneadoche)
Bahasa kiasan  yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
g.      Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
1)   Lambang warna: menyebutkan warna untuk memaknai sesuatu.
2)   Lambang benda: penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
3)   Lambang bunyi: bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan tertentu.
4)   Lambang suasana: suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret.

5.      Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
   Versifikasi terdiri dari rima, ritma dan metrum.
a.       Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain :
1)   Menurut bunyinya :
a)    Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya.
Contoh:
Demikian rasa
Datang semasa
b)   Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya.
Contoh:
Tuhanku
Dalam diam ku termangu
Aku masih menyebut nama Mu
c)    Rima mutlak bila seluruh bunyi kata itu sama.
d)   Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata.
Contoh: Segala cintaku hilang terbang.
e)    Aliterasi : perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan.
Contoh: Kaulah Kandil kemerlap
f)    Pisonansi (rima rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun vokalnya berbeda.

2)   Menurut letaknya :
a)    Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama.
Contoh:
Beta bermenung
Karena bingung
Beta berlutut
Hendak bersujud
b)   Rima tengah : bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama.
Contoh:
Aku pengapa padiku ini
Jika dilurut, pecah batangnya
Aku pengapa hatiku ini
Jika diturut sudah datangnya
c)    Rima akhir bila perulangan kata terletak pada akhir baris.
Contoh:
Aku lalai di hari pagi,
Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
d)   Rima tegak bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris berikutnya.
e)    Rima datar bila perulangan itu terdapat pada satu baris.

3)   Menurut letaknya dalam bait puisi :
a)    Rima berangkai dengan pola aabb, ccdd……….
b)   Rima berselang dengan pola abab, cdef……
c)    Rima berpeluk dengan pola abba, cddc……..
d)   Rima terus dengan pola aaaa, bbbb……..
e)    Rima patah dengan pola abaa, bcbb……
f)    Rima bebas : rima yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut sebelumnya (Waluyo, 1991: 93).
g)   Efoni kombinasi bunyi yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang, cinta dan hal-hal yang menggembirakan.

Contoh puisi karya Ramadhan Kh.

Tanah Kelahiran

Seruling di pasir ipis, merdu
antara gundukan pohonan pina
tembang menggema di dua kaki
Burangrang – tangkubanperahu.
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun.
Membelit tangga di tanah merah
di kenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyian kentang sudah digali
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun.

h)   Kakafoni kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.

Contoh puisi karya Bur Rasuanto:

Telah Gugur Beberapa Nama

telah gugur beberapa nama
telah gugur
atas nama kita semua
warna berhati damai yang bertahun
telah diperhamba
atas nama jiwa-jiwa agung
yang namanya terpahat di hati kita
serta atas nama sejarah dan kemanusiaan
yang dengan paksa telah dibengkokkan.

b.      Ritma
Pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1991:94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
1)   Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan irama lambat
2)   Alegro : Kata bervokal tiga, menimbulkan irama sedang
3)   Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama cepat.

c.       Metrum
Perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94). Nama metrum didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan deklamasi. Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk tekanan keras ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan, sedangkan tekanan lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.

Contoh puisi karya Subagio Sastrowardojo:

KEHARUAN

Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.
Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat teriak
“Merdeka” 17 kali
Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Yogya sudah kita
rebut kembali.
Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasah bumi sehabis kering sebulan
Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna berkibar di makam pahlawan
Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas terharu.

Rima, ritma, metrum mempunyai tugas penting dalam pembacaan puisi, yaitu: untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan menimbulkan suasana yang khusus. Tugas yang lain adalah: peniru bunyi (onomatope), lambang rasa dan kiasan rasa.
Peniru bunyi (onomatope) dalam puisi biasanya memberikan saran bunyi yang sebenarnya; menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk.

Contoh puisi karya Amir hamzah:

Sunyi sepi pitunang Poyang
Tidak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerincing genta rebana.
(Karena Kasihmu).

Kiasan suara terlihat dalam sajak Chairil Anwar “Senja di Pelabuhan Kecil” bait kedua. Bunyi r yang berturut-turut mengiaskan gemericik riak air laut yang mengalir.

desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan

6.      Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi  puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.

Contoh puisi karya Amir Hamzah

HANYA SATU

Timbul niat dalam kalbumu
Terbang hujan ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh Nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah suara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat geliat bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Mengapa dikau dekat rapat
Serupa Musa di puncak Turzina

B.     Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1987: 47). Struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Tanpa penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun dari dalam, mustahil dapat memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi merupakan isi/ makna yang sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui puisinya. karena struktur batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat, maka pembaca harus terlibat secara mendalam, baik fisik, mental maupun pikiran untuk mengetahui atau memahami hakekat makna sebuah puisi yang sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991: 180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
1.      Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair, penyair ingin agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami dan pembaca tidak  mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan puisinya. Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan pembaca, penyair berharap setelah membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam puisinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup dan kehidupan.
Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair.          Setiap puisi mengandung suatu pokok persoalan (subject matter) yang hendak dikemukakan (Situmorang, 1983:12). Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair (Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan puisinya penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi pembaca melalui puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10).      Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann untuk memproses ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107).
Jadi tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu yang hendak dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi atau menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu yang hendak dikemukakannya. Inilah yang disebut sense (Situmorang, 1983: 12).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain  falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan (Waluyo, 1991: 106-107).
Sebuah puisi bisa menyenangkan karena bersifat menghibur, mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah puisi tidak hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang berupa dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat spiritual dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita tidak akan dapat memahami tema dari sebuah puisi kalau hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair tidak langsung membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya. dengan membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri sendiri maka itu tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca mendapatkan kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36).
Seorang sastrawan akan merasa bangga apabila apa yang disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo, 1982:13). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan penyair dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter. Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun puisi secara khusus.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan tema adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya yang mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga merupakan latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991: 107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
a.       Tema Ke-Tuhanan
  Puisi-puisi bertema ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau “pengalaman religi” penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991:108).
Contohnya dapat dilihat dalam puisi “Do’a” karya Chairil Anwar.
b.      Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991:112)
Contohnya puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bachtiar.       
c.       Tema Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan  riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan  bangssa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991:115)
Contohnya puisi  “Bangunlah, O Pemuda!” karya A. Hasymij.
d.      Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, didapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
e.       Tema Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.

2.      Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan  yang digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121).
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang diekspresikan. Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan, simpati, acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono, 1988:71).
Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok  persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.

3.      Nada dan Suasana
a.       Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988:71). Hal ini seperti dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya (Tarigan, 1985: 13).
b.      Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan, rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991:125).
c.       Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/ ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam puisi.
d.      Nada berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo, 1991:71). Misalnya : puisi yang bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan suasana khusuk.

4.      Amanat
Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.

1 komentar:

  1. Tulisan Bu Nur sangat bagus. sesama alumni UPGRIS ...menyegarkan ingatan. Menginspirasi dalam menyampaikan makna puisi ke siswa.

    BalasHapus