Selasa, 10 April 2012

Sufistik dalam Cerpen Armageddon Karya Danarto


Pada mulanya, konon Armageddon adalah nama suatu tempat perang besar antarbangsa sebelum hari pengadilan. Kata itu kemudian bermakna perang besar atau pembunuhan. Menurut Brewer (melalui Tjitrosubono, 1985:80), Armageddon terletak di gunung-gunung tandus dekat Megido, yang sekarang bernama Leyyun, kira-kira 87 km sebelah utara Yerusalem.

Danarto menggambarkan latar cerpen ini sebagai berikut:
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu. Belalang mencuat mengorek sayapnya, ilalang pucat karena panasNya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput, dataran ilalang. Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remasNya menjadi debu. Dan debu diterbangkan angin pudar ke segala penjuru. Batu-batu. Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali. Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput. Jarang sekali. Rumput pun susah hidup di sini. Angin berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, jauh lagi, menumbuk bongkahan batu-batu lagi, terkapar tungang-langang, kusut-masai, hinga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa…
Terlepas dari sesuai tidaknya deskripsi latar cerpen dari kutipan di atas dengan apa yang  dikemukakan oleh Brewer, deskripsi tersebut semata-mata hanya untuk menggambarkan bagaimana Tuhan Maha Berkuasa. Dialah yang mengatur segala yang ada di bumi. Batu, belalang, rumput ilalang, angin dan panas diumpamakan sebagai makhluk ciptaan yang tidak mempunyai daya jika dihadapkan pada Penciptanya. Hidup dan mati, bahagia dan derita, segalanya telah diatur oleh Tuhan. Sehingga sudah sepatutnya hanya kepadaNya lah, makhluk ciptaan takut dan berserah diri.
Cerpen ini termasuk dalam jenis cerpen kontemporer, abstrak,  di mana para tokohnya diberi nama sesuai dengan karakter, dalam artian bukan dengan nama seperti yang lazim kita tahu (bukan Abdullah, Aminah, dsb). Dalam cerpen ini ada empat tokoh yaitu Bekakrak-an, Ibu, Anak, dan Boneka.
Dalam cerpen ini, Danarto mengisahkan tentang perang hawa nafsu. Puncak dari perang nafsu yang tak terperi, nafsu syahwat Anak dan Boneka yang membuncah dan nafsu lauamah seorang ibu yang terkalahkan oleh bisikan dari tokoh jahat (Bekrakak-an).
Hal ini secara jelas digambarkan ketika Ibu menuduh Anaknya yang telah merebut pacarnya yaitu Boneka, ia segera mencari bukti-bukti yang kuat atas tuduhan itu. Kebijaksanaan lahir dari seorang Ibu untuk menempatkan perkara pada porposi yang sebenarnya. Namun, ketika dihasut oleh Bekakrak-an karena Anaknya telah merampas pacarnya,  Ibu tersebut tega memotong kedua kaki dan tangan Anaknya dengan kapak yang diberikan Bekakrak-an. Mendengar tangis kesakitan Anaknya,  Ibu itu menyesal atas perbuatannya. Namun, ketika Bekakrak-an kembali menghasut si Ibu untuk memotong leher Anaknya, sang Ibu terbakar emosi dan memotong leher Anaknya. Penyesalan tentu datang di akhir. Ibu menyesal ketika melihat kenyataan bahwa darah Anaknyalah yang diincar oleh Bekakrak-an.
Perhatikan kutipan berikut:
“O, Bonekaku. Perkosalah aku habis-habisan, hingga lumat licin tandas. Aku rindu kekurangajaran. Aku rindu kebuasan. Adakah kepuasan melebihi itu? Aku serahkan tubuhku bulat-bulat malam ini dan malam-malam selanjutnya. Remuk redamkan aku hingga aku memperoleh kelezatan yang paling puncak.”
Boneka, pacar si Ibu, digambarkan sebagai manusia yang haus syahwat. Sementara Anak digambarkan sebagai anak gadis yang telanjang bulat, berwarna putih pualam, dan dikuasai nafsu syahwatnya. Kedua tokoh ini perlambang nafsu amarah karena sebagai manusia yang masih kuat dipengaruhi nafsu syahwatnya.
Dalam cerpen “Armageddon” juga digambarkan mengenai makhluk Bekakrak-an yang terasa seakan-akan kita sedang berhadapan langsung. Apabila direnungkan dengan baik, deskripsi makhluk aneh dan luar biasa ini membuat pembacanya berdiri bulu roma.
Sejenak benda hitam itu melayang-layang berputar-putar kemudian dia atas bongkahan batu yang ada di depannya. Cahaya bulan meneranginya. Benda hitam itu adalah makhluk yang aneh. Berkepala tapi tak punya badan, dengan alat-alat tubuhnya di dalam yang masih utuh: kerongkongan, paru-paru, jantung, limpa, urat darah, urat syaraf, usus-ususnya, dan pada ujungnya mengangalah duburnya, sehingga ia merupakan makhluk yang mengerikan dan menjijikkan. Kepalanya yang bulat dan rambutnya yang kusut masai. Goresan-goresan wajahnya keras. Gigi-giginya ompong. Parit-parit keningnya seolah-olah dipahatkan dengan keras dan membayangkan derita yang panjang. Bekakrakan itulah namanya, terbangnya tinggi dan cepat seperti rajawali, hingga ia seperti laying-layang dengan rumbai-rumbai ekornya yang panjang berjuntaian. (Armageddon:77)
Jika kita melihat karya cerpen tersebut yang ditulis oleh Danarto memiliki pesan relegius. Pesan yang disampaikan oleh Tuhan lewat ayat sucinya “Bahwa kerusakan alam ini karena ulah manusia sendiri”. Kita dapat mengamati akhir-akhir ini, moralitas kemanusiaan mulai luntur, keseimbangan alam juga goyang. Seorang anak yang berani melawan orang tuanya, orang-orang tua yang membunuh anak-anaknya sendiri. Bahwa dunia ini akan berakhir dengan tanda-tanda yang kian waktu menyapa pada keseharian kita. Dunia yang tak seimbang lagi, dunia yang njomplang akibat ulah manusia yang tak patuh pada hukum-hukum alam (kausalitas Tuhan).
Bekakra-an sebagai simbol nafsu angkara; manusia yang suka bertingkah polah, akan nangkring dalam hidup kita. Jika diri kita tidak pernah merenung dan menggali dasar kebertuhanan kita. Mentaati suara-suara Tuhan yang telah tertanam dalam diri kita, ketika ditiupkan roh pada kita dan akhirnya kita hidup menjadi manusia. Jalan kebebasan telah kita punyai, kebebasan berkehendak. Kehendak pada kebaikan atau kehendak pada keburukan. Tuhan telah membebaskan kita, tapi kebebasan kita kadang salah jalan. Yakni kebebasan pada jalan keburukan yang kita tempuh dan jalan kebebasana ke arah Tuhan tertutup. Begitulah manusia makan akan tertimpah akibatnya, ketakseimbangan kemanusiaan dan alam.

1 komentar: