Majas sering dianggap sebagai
sinonim dari gaya bahasa, namun
sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Sebelum masuk pada pembahasan tentang majas, terlebih dahulu akan dikemukakan
pengertian tentang gaya bahasa. Gaya bahasa
mempunyai cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana (Kamus
Linguistik (1982), gaya bahasa (style)
mempunyai tiga pengertian, yaitu:
1. Pemanfaatan
atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
2. Pemakaian
ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu;
3. Ciri-ciri
bahasa sekelompok penulis sastra.
Sementara itu, Leech dan
Short (1981): mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam
konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu.
Sebenarnya, apakah fungsi
penggunaan gaya bahasa? Pertama-tama, bila dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan
gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot.
Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi
sasaran) dapat menarik perhatian penerima.
Sebaliknya, bila penggunaannya
tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Misalnya apabila
dalam novel remaja masa kini terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum
kemerdekaan, maka pesan tidak sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya.
Pemakaian gaya bahasa juga dapa menghidupkan
apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan
yang penuh makna dengan singkat. Seringkali pemakaian gaya bahasa digunakan
untuk penekanan terhadap pesan yang diungkapkan.
Selama ratusan tahun telah
dilakukan penelitian tentang hal ini. Berbagai klasifikasi dikemukakan, tentu
bukan tempatnya di sini diajukan pendapat para ahli yang simpang-siur itu. Ducrot
dan Todorov dalam Ditionnaire
encyclopédique des sciences du langage (1972) mengemukakan antara lain
klasifikasi menurut tataran bahasa, yaitu:
1. Tataran
bunyi dan grafis (misalnya asonansi, aliterasi, dan lain-lain)
2. Tataran
sintaksis (misalnya inversi, kalimat tak langsung yang bebas, dan lain-lain)
3. Tataran
semantik (metafora, ironi, dan lain-lain)
Ada jenis gaya bahasa yang
dapat muncul dalam ketiga kategori di atas; misalnya pengulangan, bisa termasuk
ke dalam ketiga kategori tersebut. Selanjutnya yang akan dibicarakan lebih lanjut
di sini adalah tataran yang ke tiga, yaitu tataran semantik. Gaya bahasa pada tataran
ini biasa disebut majas. Dalam tulisan ini, kata majas dipakai sesuai dengan
apa yang dimaksud dengan trope (Perancis)
yaitu kata atau ungkapan yang digunakan dengan makna yang menyimpang dari makna
yang biasa digunakan. Telah banyak pembahasan tentang hal ini. Berbagai usaha penjelasan telah
dilakukan, namun tetap belum memadai.
Di sini tidak akan dikemukakan
keseluruhan majas, karena hal itu akan luas sekali, melainkan hanya akan
ditampilkan beberapa macam majas yang sering digunakan.
Majas dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kategori. Beberapa pakar, antara lain Moeliono dalam bukunya Kembara
Bahasa (1979), telah mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:
1. Majas
perbandingan,
2. Majas
pertentangan, dan
3. Majas
pertautan.
Masing-masing jenis majas
ini, terdiri dari beberapa majas. Berikut ini akan dijelaskan pembagian majas-majas
berdasarkan klarifikasi di atas.
1.
Majas
Perbandingan
Majas perbandingan
antara lain:
- Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
- Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
- Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan kata penghubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Contoh:
“Gadis
itu sangat cantik, matanya seperti
bintang kejora.”
“Wajah ibu dan anak itu bagaikan pinang dibelah
dua.”
- Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Contoh: Banyak pemuda yang mencoba memperebutkan kembang desa itu.
(Pada kalimat di atas, kata kembang desa digunakan untuk menyebut gadis.)
- Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
- Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
- Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
- Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
- Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Contoh: Ayahku membeli Kijang kemarin.
(Kata Kijang merupakan suatu merk, digunakan untuk
menggantikan kata mobil)
- Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
- Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Silahkan singgah di gubuk saya.
(Sebenarnya yang dikemukakan dengan kata gubuk itu,
mungkin saja rumah yang besar dan mewah, tetapi si pengujar ingin menampilkan
kesan kecil, sehingga ia menggunakan leksem “gubuk”)
- Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Contoh: Tono berlari secepat kilat.
(Dalam hal penggambaran kecepatan lari Tono yang dibandingkan
dengan kilat, digunakan majas hiperbola. Secepat apa pun lari manusia tentu
tidak dapat disamakan dengan kilat kecepatannya.)
- Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
Contoh: Daun kelapa itu melambai-lambai tertiup
angin pantai.
(Unsur yang dibandingkan: “gerakan tangan” dengan
“gerakan daun kelapa”.)
- Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Contoh: Tono mematung setelah mendengar berita
tersebut.
(Unsur yang dibandingkan: “tubuh manusia (Tono)”
dengan “patung”.)
- Sinekdoke pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Contoh: Telah lama si Joko tak nampak batang
hidungnya.
(Penggunaan frase batang hidung dimaksudkan untuk
mewakili sosok manusia si Joko itu sendiri.)
- Sinekdoke totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh: Semarang menjadi juara pertama dalam
Kejuaraan Futsal Nasional.
(Sebenarnya yang menjadi juara pertama dalam kalimat
di atas adalah Tim Futsal yang berasal dari kota Semarang bukan seluruh warga
Semarang)
- Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Contoh: Bapaknya telah berpulang ke Rahmatullah.
(Penggunaan frasa: “berpulang ke Rahmatullah”
sebagai ganti kata “meninggal” karena dirasa lebih halus.)
- Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
- Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
- Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
- Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
- Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
- Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
2.
Majas
Pertentangan
Majas pertentangan antara lain:
a. Paradoks:
Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar.
Contoh: Aku merasa
kesepian di tengah keramaian ini.
b. Oksimoron:
Paradoks dalam satu frase.
c. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan
kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
Contoh: Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin semua
berlomba-lomba ingin hidup senang.
d. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang
bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
e. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung
ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.
3.
Majas
Penegasan
- Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
- Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
- Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
- Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
- Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
- Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
- Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
- Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
- Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
- Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
- Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
- Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
- Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
- Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
- Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
- Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
- Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
- Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
- Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
- Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
- Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
- Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
- Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
- Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
- Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
4.
Majas
Sindiran
Majas sindiran antara lain:
a. Ironi:
Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan
dari fakta tersebut.
Contoh:
Pintar sekali Kau, jawaban semudah inipun tak bisa.
b. Sarkasme:
Sindiran langsung dan kasar.
Contoh:
Muak aku melihat wajahmu.
c. Sinisme:
Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada
manusia (lebih kasar dari ironi).
d. Satire:
Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau
menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
e. Innuendo:
Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.
daftar pustaka & sumber referensinya knpa gk ada.???
BalasHapussumbernya ini darimana ya?
BalasHapuslain kali cantumkan sumber atau daftar pustaka
BalasHapussumber
BalasHapusBtw. Kok gk Koheren ya, di baca mbingungin. Masak poin pentingnya gaya bahasa tapi yang ada pembahasan klasifikasi ilmu bahasa (linguistik) di tengah" penjelasan gaya bahasa. Padahal dua hal itu pembahasan nya udah gk segaris
BalasHapus