Selasa, 10 April 2012

GAYA BAHASA DALAM TATARAN SEMANTIK


Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun   sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Sebelum masuk pada pembahasan   tentang majas, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian tentang gaya bahasa.    Gaya bahasa mempunyai cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik (1982), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu:

1.      Pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
2.      Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu;
3.      Ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.
Sementara itu, Leech dan Short (1981): mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, untuk tujuan tertentu.
Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Pertama-tama, bila dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat (sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik perhatian penerima.
Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka. Misalnya apabila dalam novel remaja masa kini terdapat banyak gaya bahasa dari masa sebelum kemerdekaan, maka pesan tidak sampai dan novel remaja itu tidak akan disukai pembacanya. Pemakaian gaya    bahasa juga dapa menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat. Seringkali pemakaian gaya bahasa digunakan untuk penekanan terhadap pesan yang diungkapkan.
Selama ratusan tahun telah dilakukan penelitian tentang hal ini. Berbagai klasifikasi dikemukakan, tentu bukan tempatnya di sini diajukan pendapat para ahli yang simpang-siur itu. Ducrot dan Todorov dalam Ditionnaire encyclopédique des sciences du langage (1972) mengemukakan antara lain klasifikasi menurut tataran bahasa, yaitu:
1.      Tataran bunyi dan grafis (misalnya asonansi, aliterasi, dan lain-lain)
2.      Tataran sintaksis (misalnya inversi, kalimat tak langsung yang bebas, dan lain-lain)
3.      Tataran semantik (metafora, ironi, dan lain-lain)
Ada jenis gaya bahasa yang dapat muncul dalam ketiga kategori di atas; misalnya pengulangan, bisa termasuk ke dalam ketiga kategori tersebut. Selanjutnya yang akan dibicarakan lebih lanjut di sini adalah tataran yang ke tiga, yaitu tataran semantik. Gaya bahasa pada tataran ini biasa disebut majas. Dalam tulisan ini, kata majas dipakai sesuai dengan apa yang dimaksud dengan trope (Perancis) yaitu kata atau ungkapan yang digunakan dengan makna yang menyimpang dari makna yang biasa digunakan. Telah banyak pembahasan      tentang hal  ini. Berbagai usaha penjelasan telah dilakukan, namun tetap belum memadai.
Di sini tidak akan dikemukakan keseluruhan majas, karena hal itu akan luas sekali, melainkan hanya akan ditampilkan beberapa macam majas yang sering digunakan.
Majas dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Beberapa pakar, antara lain Moeliono dalam bukunya Kembara Bahasa (1979), telah mengemukakan klasifikasi sebagai berikut:
1.      Majas perbandingan,
2.      Majas pertentangan, dan
3.      Majas pertautan.
Masing-masing jenis majas ini, terdiri dari beberapa majas. Berikut ini akan dijelaskan pembagian majas-majas berdasarkan klarifikasi di atas.

1.      Majas Perbandingan
Majas perbandingan antara lain:
  1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
  2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
  3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan kata penghubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Contoh:
 “Gadis itu  sangat cantik, matanya seperti bintang kejora.” 
“Wajah ibu dan anak itu bagaikan pinang dibelah dua.”
  1. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Contoh: Banyak pemuda yang mencoba memperebutkan kembang desa itu.
(Pada kalimat di atas, kata kembang desa digunakan untuk menyebut gadis.)
  1. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
  2. Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
  3. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
  4. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
  5. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Contoh: Ayahku membeli Kijang kemarin.
(Kata Kijang merupakan suatu merk, digunakan untuk menggantikan kata mobil)
  1. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
  2. Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Silahkan singgah di gubuk saya.
(Sebenarnya yang dikemukakan dengan kata gubuk itu, mungkin saja rumah yang besar dan mewah, tetapi si pengujar ingin menampilkan kesan kecil, sehingga ia menggunakan leksem “gubuk”)
  1. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Contoh: Tono berlari secepat kilat.
(Dalam hal penggambaran kecepatan lari Tono yang dibandingkan dengan kilat, digunakan majas hiperbola. Secepat apa pun lari manusia tentu tidak dapat disamakan dengan kilat kecepatannya.)
  1. Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
Contoh: Daun kelapa itu melambai-lambai tertiup angin pantai.
(Unsur yang dibandingkan: “gerakan tangan” dengan “gerakan daun kelapa”.)
  1. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Contoh: Tono mematung setelah mendengar berita tersebut.
(Unsur yang dibandingkan: “tubuh manusia (Tono)” dengan “patung”.)
  1. Sinekdoke pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Contoh: Telah lama si Joko tak nampak batang hidungnya.
(Penggunaan frase batang hidung dimaksudkan untuk mewakili sosok manusia si Joko itu sendiri.)
  1. Sinekdoke totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh: Semarang menjadi juara pertama dalam Kejuaraan Futsal Nasional.
(Sebenarnya yang menjadi juara pertama dalam kalimat di atas adalah Tim Futsal yang berasal dari kota Semarang bukan seluruh warga Semarang)
  1. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Contoh: Bapaknya telah berpulang ke Rahmatullah.
(Penggunaan frasa: “berpulang ke Rahmatullah” sebagai ganti kata “meninggal” karena dirasa lebih halus.)
  1. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
  2. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
  3. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
  4. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
  5. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
  6. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
2.      Majas Pertentangan
Majas pertentangan antara lain:
a. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
Contoh: Aku merasa  kesepian di tengah keramaian ini.
b.      Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
c.  Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
Contoh: Besar-kecil, tua-muda, kaya-miskin semua berlomba-lomba ingin hidup senang.
d. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
e. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.
3.      Majas Penegasan
  1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
  2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
  3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
  4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
  5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
  6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
  7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
  8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
  9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
  10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
  11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
  12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
  13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
  14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
  15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
  16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
  17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
  18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
  19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
  20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
  21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
  22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
  23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
  24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
  25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
4.      Majas Sindiran
Majas sindiran antara lain:
a.  Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Contoh: Pintar sekali Kau, jawaban semudah inipun tak bisa.
b.   Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
Contoh: Muak aku melihat wajahmu.
c.  Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
d. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
e.       Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

5 komentar:

  1. daftar pustaka & sumber referensinya knpa gk ada.???

    BalasHapus
  2. lain kali cantumkan sumber atau daftar pustaka

    BalasHapus
  3. Btw. Kok gk Koheren ya, di baca mbingungin. Masak poin pentingnya gaya bahasa tapi yang ada pembahasan klasifikasi ilmu bahasa (linguistik) di tengah" penjelasan gaya bahasa. Padahal dua hal itu pembahasan nya udah gk segaris

    BalasHapus