Seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, seperti
itulah selama ini aku melindungi hatiku: berusaha menjaganya tetap aman. Bahkan
ketika jaman menawarkan suka, aku lebih memilih untuk mengasingkannya. Yah, bagiku
keterasingan ini setidaknya akan melindungi hatiku, terutama dari hal-hal yang
berbahaya. Membiarkannya tetap utuh tak tersentuh. Pun jika memang berdalih akan
dapat menyelamatkannya, aku rela menjadi
manusia munafik yang terus berpura-pura.
Meskipun tahu hati yang lemah ini seharusnya
membilang genap untuk menguatkannya, aku tetap saja ingkar. Mengingkari
kebutuhannya, mengingkari kelemahannya, mengingkari kecacatannya. Maka akupun
terus saja berdusta. Mematrinya dalam ruang yang hanya aku yang dapat
menjangkaunya.
Ku sangka aku telah berhasil membuat hatiku bebal
dalam keterasingannya, melupakan kodratnya, menyamarkan ketidakdayaannya,
hingga kecerobohan itu bermula: aku membuka patrinya. Yah, Hawa yang idiot ini
menjadi semakin idiot karena pertemuannya dengan Adam yang melenakan. Membiarkan
rasa itu menerobos melalui celah-celah patri yang terbuka. Aku benar-benar
idiot, idiot yang terlena.
Aku terlena dengan rasa yang memabukkan. Menikmatinya
hingga membius kesadaran. Aku bahkan melalaikan janji untuk menjaga hati. Aku
membiarkan hati yang begitu polos terjamah oleh rasa aneh yang tak pernah dikenal, membiarkan dia meraba-raba dalam dunia yang
sama sekali asing baginya.
Awalnya aku bahagia. Mereguk rasa dahsyat yang
menggetarkan raga pun nyawa.
Dan ku kira ini adalah pengecualian untuk konsep “bahaya”
yang selama ini ku benarkan, karena sungguh rasa berdebar yang tidak wajar ini
begitu menyenangkan. Maka rasa takutku yang berlebihan pun kusingkirkan.
Namun kenyataan secara kasar menampar ku menuju
sadar. Buruknya, aku terlambat
menyelamatkan hatiku yang terlanjur jatuh dalam diam. Aku telah menjatuhkan
hatiku pada tempat yang salah. Sosok itu telah berpunya dan tahu rasaku tak
mungkin terbalas olehya.
Keterlambatan itu tiba-tiba terasa seperti menyedot
seluruh persediaan oksigen dalam paru-paruku, menghentikan pompa jantung dan
membekukan aliran darahku.
Hatiku terkapar, pecah, hancur dan terlalu buta
untuk tahu bagaimana cara kembali ke bentuk asalnya.
Penyesalan itu sia-sia. Hatiku telah terluka. Kecerohanku
lah yang membuatnya begitu rupa. Membuatnya sekarat, mati rasa. Dan dalihku
terasa tak lagi berguna. Sekerat alasan dan permintaan maaf yang aku jejalkan
tak cukup mengusir lara yang membuat hatiku melepuh mengenaskan.
Ini bukanlah salah Sang Adam yang melenakan, juga
bukan salah rasa yang memabukkan. Akulah
yang telah gagal melindungi hatiku yang tunggal. Dan jika
sekarang hatiku mengerang kesakitan, maka aku
adalah satu-satunya manusia yang patut disalahkan.
upssttt...
BalasHapusindah bnget kata2 ny kaq...???!!