1. Vokalisasi
Gejala vokalisasi adalah gejala yang
timbul untuk memenuhi persyaratan fonotaksis bahasa yang bersangkutan dengan
mengubah suku kata tertutup (berakhiran konsonan) menjadi suku kata terbuka
(berakhiran vocal).
Cara mengubah suku kata tertutup menjadi
suku kata terbuka ada dua macam, yaitu:
a. Dengan
menghilangkan konsonan penutup suku
Cara ini misalnya terdapat dalam kata ala dalam bahasa Mandar, yang berasal
dari kata alap (ambil) yang lebih
umum, terdapat dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Aceh terdapat kata puta berasala dari kata putar. Di Jawa berupa kata puter.
Pada bahasa keturunan bahasa Nusantara,
konsonan yang menduduki posisi akhir kata hanya dibenarkan satu saja. Bila ada
dua onsonan maka hanya dipakai satu saja. Misal kata standart dan test yang
berasal dari Belanda/Inggris berubah menjadi kata standar dan tes.
b. Dengan
menambahkan vocal di akhir
Vokalisasi dengan menambahkan vocal di
akhir akar kata tau kata dasar yang berakhiran konsonan terdapat diantaranya
pada kata opato (empat) dalam bahasa
Gorontalo, enina (enam) dan hinzaka (injak) dalam bahasa Malagasi.
2.
Nasalisasi
Nasalisasi adalah penambahan konsonan
nasal pada akar kata atau kata dasar yang semula konsonan nasal itu tidak ada.
Pada bahasa-bahasa sekarang misalnya
terdapat dalam kata angkasa dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang tanpa konsonan nasal. Dalam bahasa Sunda terdapat kata enteh yang berasal dari bahasa Belanda thee, padahal dalam bahasa Indonesia dan
bahasa-bahasa lain berupa kata teh.
Dalam bahasa Jawa juga banyak terdapat nasalisasi, seperti kata mungsuh, mangsak, mangsa yang dalam
bahasa Indonesia berupa kata musuh,
masak, masa (waktu).
3.
Paragose
Paragose adalah gejala bahasa yang terjadi
dengan penambahan konsonan /k/ (dalam beberapa daerah, konsonan itu ditulis
dengan q dan ada yang dengan apostrof) pada akhir akar kata atau kata dasar.
Misal kata bapak dalam bahasa
Indonesia dan banyak etrdapat pada daerah-daerah lain, semula berupa kata bapa. Dalam bahasa Jawa kata adi (adik) yang berakhir dengan vocal,
berselang-seling dipakai dengan pasangannya yang mengalami gejala paragose
juga, yaitu kakak.
4.
Velarisasi
Velarisasi adalah gejala menggantikan
konsonan yang bukan velar menjadi konsonan velar (juga glotal).
Salah satu ciri yang membedakan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Indonesia juga soal konsonan velar. Banyak kata
bahasa Indonesia yang berakhir dengan konsonan bukan velar, dalam bahasa
Minangkabau muncul sebagai kata yang berakhiran konsonan velar. Kata-kata itu
diantaranya ratap, berakhir konsonan
bilabial, empat, berakhiran dengan
konsonan dental, lurus, berakhiran
dengan konsonan dental/palatal, dalam bahasa Minagkabau masing-masing uncul
sebagai kata ratok, ampek, luruih,
yang kesemuanya berakhiran dengan konsonan velar.
Kalau velarisasi pada bahasa-bahasa yang
telah disebutkan adalah velarisasi pada konsonan hambat, velarisasi yang
terjadi pada bahasa Makassar adalah velarisasi konsonan nasal. Kata-kata pada
bahasa-bahasa lain yang tidak berakhiran konsonan nasal velar, dalam bahasa
Makassar muncul sebagai kata yang berakhiraan konsonan velar. Misal kata dalam
bahasa Indonesia tahun, dingin, kanan,
enam, minum, dalam bahasa Makassar berupa taung, dinging, kanang, annang, dan anginung.
Velarisasi yang lain adalah velarisasi
konsonan geser. Dalam hal ini konsonan geser yang bukan velar diganti dengan
konsonan geser velar (glottal). Gejala itu terdapat dalam bahasa Minangkabau
pada kata manih, aluih, paneh,
padahal dalam bahasa Indonesia berupa manis,
halus dan panas. Jadi konsonan
/s/ diganti dengan /h/.
5.
Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang berupa
penyusutan kata dengan cara menghilangkan fonem atau suku kata yang ada di
tengah kata. Dalam bahasa Indonesia sekarang gejala ini misalnya terdapat dalam
kata matahari, dahulu, perlahan-lahan,
sahaya, yang masing-masing menjadi mentari,
dulu, pelan-pelan, dan saya.
6.
Metatesis
Gejala metatesis adalah gejala yang
menghasilkan letak fonem dalam kata bertukar. Dalam bahasa Indonesia sekarang
gejala ini terdapat dalam kata perampok dan
perompak, berantas dan banteras.
Pada bahasa Nusantara purba gejala itu
misalnya terdapat dalam hidup (bahasa Indonesia), hirup (bahasa Sunda) dan (h)urip
(bahasa Jawa). Di situ letak fonem /i/ dan /u/ dipertukarkan.
7.
Sinkop
Sinkop adalah menghilangkan bagian atau
awal suku suatu kata. Dalam bahasa Indonesia gejala itu misalnya dalam ‘lah, ‘kan, yang masing-masing berasal
dari kata telah, dan akan.
Gejala itu banyak terdapat dalam
kata-kata bahasa Aceh. Misalnya kata u (kelapa),
un (daun), le (tiga), yang masing-masing berasal dari kata niur, daun, telu, yang lebih umum. Kata
telu menjadi le, kecuali mengalami
gejala sinkop juga mengalami penggantian vocal /u/ yang lebih umum dengan vocal
/e/ dalam bahasa Aceh yang memang sering dilakukakan, seperti kata kayu, batu, tebu dalam bahasa Indonesia,
dalam bahasa Aceh berupa kaye, bate, tebe.
8.
Disimilasi
Gejala ini berupa penggantian salah satu
fonem, khususnya konsonan dengan fonem lain. Gejala itu misalnya terdapat dalam
bahasa Indonesia. Penggantian /r/ dengan /l/ itulah hasil disimilasi. Pada kata
lain misalnya sarira (badan) menjadi salira atau selira. Penggantian itu disebabkan dalam bahasa Jawa yang
menyatakan bahwa dalam suatu kata tidak boleh ada dua suku berurutan yang
masing-masing berawal dengan /r/. itu merupakan kebalikan dari apa yang
terdapat dalam bahasa Bali. Kata rolas (dua
belas) bahasa Jawa, dalam bahasa Bali berupa roras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar