Selasa, 10 April 2012

Gejala Lain dalam Akar Kata dan Kata Dasar: Kajian Perbanus


1.      Vokalisasi
Gejala vokalisasi adalah gejala yang timbul untuk memenuhi persyaratan fonotaksis bahasa yang bersangkutan dengan mengubah suku kata tertutup (berakhiran konsonan) menjadi suku kata terbuka (berakhiran vocal).

Cara mengubah suku kata tertutup menjadi suku kata terbuka ada dua macam, yaitu:
a.       Dengan menghilangkan konsonan penutup suku
Cara ini misalnya terdapat dalam kata ala dalam bahasa Mandar, yang berasal dari kata alap (ambil) yang lebih umum, terdapat dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Aceh terdapat kata puta berasala dari kata putar. Di Jawa berupa kata puter.
Pada bahasa keturunan bahasa Nusantara, konsonan yang menduduki posisi akhir kata hanya dibenarkan satu saja. Bila ada dua onsonan maka hanya dipakai satu saja. Misal kata standart dan test yang berasal dari Belanda/Inggris berubah menjadi kata standar dan tes.
b.      Dengan menambahkan vocal di akhir
Vokalisasi dengan menambahkan vocal di akhir akar kata tau kata dasar yang berakhiran konsonan terdapat diantaranya pada kata opato (empat) dalam bahasa Gorontalo, enina (enam) dan hinzaka (injak) dalam bahasa Malagasi.

2.      Nasalisasi
Nasalisasi adalah penambahan konsonan nasal pada akar kata atau kata dasar yang semula konsonan nasal itu tidak ada.
Pada bahasa-bahasa sekarang misalnya terdapat dalam kata angkasa  dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta yang tanpa konsonan nasal. Dalam bahasa Sunda terdapat kata enteh yang berasal dari bahasa Belanda thee, padahal dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain berupa kata teh. Dalam bahasa Jawa juga banyak terdapat nasalisasi, seperti kata mungsuh, mangsak, mangsa yang dalam bahasa Indonesia berupa kata musuh, masak, masa (waktu).

3.      Paragose
Paragose adalah gejala bahasa yang terjadi dengan penambahan konsonan /k/ (dalam beberapa daerah, konsonan itu ditulis dengan q dan ada yang dengan apostrof) pada akhir akar kata atau kata dasar. Misal kata bapak dalam bahasa Indonesia dan banyak etrdapat pada daerah-daerah lain, semula berupa kata bapa. Dalam bahasa Jawa kata adi (adik) yang berakhir dengan vocal, berselang-seling dipakai dengan pasangannya yang mengalami gejala paragose juga, yaitu kakak.

4.      Velarisasi
Velarisasi adalah gejala menggantikan konsonan yang bukan velar menjadi konsonan velar (juga glotal).
Salah satu ciri yang membedakan bahasa Minangkabau dengan bahasa Indonesia juga soal konsonan velar. Banyak kata bahasa Indonesia yang berakhir dengan konsonan bukan velar, dalam bahasa Minangkabau muncul sebagai kata yang berakhiran konsonan velar. Kata-kata itu diantaranya ratap, berakhir konsonan bilabial, empat, berakhiran dengan konsonan dental, lurus, berakhiran dengan konsonan dental/palatal, dalam bahasa Minagkabau masing-masing uncul sebagai kata ratok, ampek, luruih, yang kesemuanya berakhiran dengan konsonan velar.
Kalau velarisasi pada bahasa-bahasa yang telah disebutkan adalah velarisasi pada konsonan hambat, velarisasi yang terjadi pada bahasa Makassar adalah velarisasi konsonan nasal. Kata-kata pada bahasa-bahasa lain yang tidak berakhiran konsonan nasal velar, dalam bahasa Makassar muncul sebagai kata yang berakhiraan konsonan velar. Misal kata dalam bahasa Indonesia tahun, dingin, kanan, enam, minum, dalam bahasa Makassar berupa taung, dinging, kanang, annang, dan anginung.
Velarisasi yang lain adalah velarisasi konsonan geser. Dalam hal ini konsonan geser yang bukan velar diganti dengan konsonan geser velar (glottal). Gejala itu terdapat dalam bahasa Minangkabau pada kata manih, aluih, paneh, padahal dalam bahasa Indonesia berupa manis, halus dan panas. Jadi konsonan /s/ diganti dengan /h/.

5.      Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang berupa penyusutan kata dengan cara menghilangkan fonem atau suku kata yang ada di tengah kata. Dalam bahasa Indonesia sekarang gejala ini misalnya terdapat dalam kata matahari, dahulu, perlahan-lahan, sahaya, yang masing-masing menjadi mentari, dulu, pelan-pelan, dan saya.

6.      Metatesis
Gejala metatesis adalah gejala yang menghasilkan letak fonem dalam kata bertukar. Dalam bahasa Indonesia sekarang gejala ini terdapat dalam kata perampok dan perompak, berantas dan banteras.
Pada bahasa Nusantara purba gejala itu misalnya terdapat dalam hidup (bahasa Indonesia), hirup (bahasa Sunda) dan (h)urip (bahasa Jawa). Di situ letak fonem /i/ dan /u/ dipertukarkan.

7.      Sinkop
Sinkop adalah menghilangkan bagian atau awal suku suatu kata. Dalam bahasa Indonesia gejala itu misalnya dalam ‘lah, ‘kan, yang masing-masing berasal dari kata telah, dan akan.
Gejala itu banyak terdapat dalam kata-kata bahasa Aceh. Misalnya kata u (kelapa), un (daun), le (tiga), yang masing-masing berasal dari kata niur, daun, telu, yang lebih umum. Kata telu menjadi le, kecuali mengalami gejala sinkop juga mengalami penggantian vocal /u/ yang lebih umum dengan vocal /e/ dalam bahasa Aceh yang memang sering dilakukakan, seperti kata kayu, batu, tebu dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Aceh berupa kaye, bate, tebe.
8.      Disimilasi
Gejala ini berupa penggantian salah satu fonem, khususnya konsonan dengan fonem lain. Gejala itu misalnya terdapat dalam bahasa Indonesia. Penggantian /r/ dengan /l/ itulah hasil disimilasi. Pada kata lain misalnya sarira (badan) menjadi salira atau selira. Penggantian itu disebabkan dalam bahasa Jawa yang menyatakan bahwa dalam suatu kata tidak boleh ada dua suku berurutan yang masing-masing berawal dengan /r/. itu merupakan kebalikan dari apa yang terdapat dalam bahasa Bali. Kata rolas (dua belas) bahasa Jawa, dalam bahasa Bali berupa roras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar