Selewat Liris Kealfaan


Berserobok pandang pada malaikat maut yang berkelindan mengawasi usia yang melaju pelan, aku membawa raga, hampa. Menggeliat bersama waktu menerobos suratan tanpa rasa. Kekosongan ini tak tergantikan bahkan dengan derai tawa, seteguk cinta.


Dengan segala sentuhan embun fajar, jilatan terik siang, tiupan senja temaram hingga dentingan malam liar yang berputar-putar, hampaku tak juga menguar. Bahkan bilapun neptunus menguncang lautan dan zeus menyentak kayangan, duniaku tetap saja terasa datar.

Banyak dari mereka mengira itu karena sayapku tak terpasang sempurna. Hilang genapnya hingga tunggal tersisa. Namun mereka salah, karena cinta rapuh beralibi kepingan jiwa hanya dapat mengisi ruang yang sudah tersedia. Sementara hampa ini tak terpeta dalam suatu ruang sehingga membuatku jengah dengan pertanyaan yang berakhir dalam kelam: dimana lubang yang menganga ini berasal?

Sementara para pengejar cinta berpetualang dalam dimensi fana, aku mengkerut di sudutnya mengurai tanya. Kemudian tersentak dengan jawab yang terapal mengerikan. Bahwa mungkin tak ada pamrih yang seharusnya dijalankan bila Dia teratasnamakan. Benarlah jika selama ini hampa mengental dalam aliran darah, melekat pada dinding-dinding daging, keras bertalu pada jantung yang mengiramakan dentuman, karena aku hanya berfikir tentang mencapai surga dan menghindari neraka. Melakukan segala sesuatu karena imbalan dan hukuman hingga ketika kewajiban sepenuhnya terlaksanakan, muncullah rasa yakin akan takdir masa depan. Merasa hal itu bukan lagi beban dan hasil baik adalah kepastian, esensi penghambaan pun terlupakan, maka hampalah yang tersemai di pelataran.

Bagaimana bisa seorang makhluk ciptaan alfa terhadap Yang Menciptakan? Bagaimana bisa seorang makhluk mendamba damai jika tak dapat mengimplementsikan konsep ikhlas di hadapan Yang Memberi Damai?

Dan bila ini tentang bermaknaan adanya Tuhan, keikhlasan kepadaNya untuk mengisi kehampaan, maka sepertinya aku benar-benar membutuhkan tamparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar