Berserobok pandang pada
malaikat maut yang berkelindan mengawasi usia yang melaju pelan, aku membawa
raga, hampa. Menggeliat bersama waktu menerobos suratan tanpa rasa. Kekosongan
ini tak tergantikan bahkan dengan derai tawa, seteguk cinta.
Dengan segala sentuhan
embun fajar, jilatan terik siang, tiupan senja temaram hingga dentingan malam
liar yang berputar-putar, hampaku tak juga menguar. Bahkan bilapun neptunus
menguncang lautan dan zeus menyentak kayangan, duniaku tetap saja terasa datar.
Banyak dari mereka
mengira itu karena sayapku tak terpasang sempurna. Hilang genapnya hingga
tunggal tersisa. Namun mereka salah, karena cinta rapuh beralibi kepingan jiwa
hanya dapat mengisi ruang yang sudah tersedia. Sementara hampa ini tak terpeta
dalam suatu ruang sehingga membuatku jengah dengan pertanyaan yang berakhir
dalam kelam: dimana lubang yang menganga ini berasal?
Sementara para pengejar
cinta berpetualang dalam dimensi fana, aku mengkerut di sudutnya mengurai tanya.
Kemudian tersentak dengan jawab yang terapal mengerikan. Bahwa mungkin tak ada
pamrih yang seharusnya dijalankan bila Dia teratasnamakan. Benarlah jika selama
ini hampa mengental dalam aliran darah, melekat pada dinding-dinding daging,
keras bertalu pada jantung yang mengiramakan dentuman, karena aku hanya
berfikir tentang mencapai surga dan menghindari neraka. Melakukan segala
sesuatu karena imbalan dan hukuman hingga ketika kewajiban sepenuhnya
terlaksanakan, muncullah rasa yakin akan takdir masa depan. Merasa hal itu bukan
lagi beban dan hasil baik adalah kepastian, esensi penghambaan pun terlupakan,
maka hampalah yang tersemai di pelataran.
Bagaimana bisa seorang
makhluk ciptaan alfa terhadap Yang Menciptakan? Bagaimana bisa seorang makhluk
mendamba damai jika tak dapat mengimplementsikan konsep ikhlas di hadapan Yang
Memberi Damai?
Dan bila ini tentang
bermaknaan adanya Tuhan, keikhlasan kepadaNya untuk mengisi kehampaan, maka
sepertinya aku benar-benar membutuhkan tamparan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar